Kembali ke Alam Sambil Menyusuri Goa Horizontal di Buniayu, Sukabumi
03:25
Ketika liburan akhir semester tiba, beberapa teman di kelas saya mengajak susur goa di Sukabumi. Sudah lama sekali rasanya tidak menyusuri goa beneran. Di Sumbar memang saya sering ke Goa Jepang di Ngarai Sianok, Bukittinggi. Saya juga pernah ke Lobang Mbah Suro di Sawahlunto. Rasa was-was akan hal-hal horor karena tersugesti cerita tragis pembangunannya menghinggapi ketika di dalam goa. Keduanya memang bukan goa alami. Lain halnya dengan susur Goa Seplawan yang pernah saya ikuti dengan teman-teman pecinta alam SMA dulu di Purworejo, goanya alami bentukan alam. Digenangi air dan kita harus merambat menyusurinya. Di beberapa bagian dindingnya yang tinggi terdapat huruf Pallawa. Nuansa magis dan sensasi petualangan itulah yang mengundang kerinduan saya untuk menjajalnya lagi.
Kawasan goa yang ditawarkan teman saya ada di Buniayu. Istimewanya di sana memiliki dua goa untuk disusuri. Jadi sekali dayung dapat dua goa. Goanya ada yang horizontal sebagaimana goa lainnya, dan juga goa vertikal. Kebayang nggak gimana cara menyusuri goa vertikal? Khusus mengenai petualangan di goa vertikal akan saya post tersendiri setelah ini.
Akomodasi ke Sukabumi bisa dibilang cukup mudah. Kami naik Commuter Line dari Stasiun Pondok Ranji hingga Stasiun Bogor. Lalu menyeberang menuju Stasiun Bogor Paledang, tempat pemberangkatan Kereta Api Pangrango jurusan Bogor-Sukabumi yang akan kami tumpangi. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Kami tidur untuk menyimpan tenaga karena di hari pertama ini kami sudah akan menyusuri goa horizontal. Dari Stasiun Sukabumi naik angkot ke Termial Jubleg. Angkotnya berwarna hitam dan kata Pak Supirnya dinamakan angkot nehi (negara hitam). Dari Jubleg kami naik angkot lagi yang berwarna silver untuk menuju Buniayu.
Di angkot silver kami bertemu dengan seorang kakek yang sederhana dan sangat polos. Khas sunda seperti yang biasanya digambarkan pada film-film Indonesia. Kakek ini harus sambung menyambung naik angkot lalu dilanjutkan ojek untuk menuju pasar yang dekat dengan tempat tinggalnya demi berjualan. Tadi beliau kulakan di Sukabumi. Kakek ini hanya perlu menafkahi dirinya sendiri saja, anaknya sudah merantau dan bekerja. Si kakek hanya bercerita sebentar dengan Bahasa Sunda tulen yang hanya bisa sedikit saya mengerti karena beliau sepertinya tidak bisa Bahasa Indonesia. Tapi apa yang beliau ceritakan menempel di kepala saya. Beliau mengingatkan saya akan betapa mudahnya hidup saya, sehingga semestinya saya bisa lebih bersyukur dan menikmatinya. Angkot silver ini akan ngetem sangat lama untuk menunggu penumpang penuh. Jika belum penuh si sopir enggan beranjak. Perjalanan angkot silver memakan waktu 45 menit. Melewati jalanan berliku yang menanjak dan bergeronjal, dengan bukit gersang menghiasi perjalanan. Antimo akan berguna bagi yang mudah mabok pada perjalanan darat.
Di angkot silver kami bertemu dengan seorang kakek yang sederhana dan sangat polos. Khas sunda seperti yang biasanya digambarkan pada film-film Indonesia. Kakek ini harus sambung menyambung naik angkot lalu dilanjutkan ojek untuk menuju pasar yang dekat dengan tempat tinggalnya demi berjualan. Tadi beliau kulakan di Sukabumi. Kakek ini hanya perlu menafkahi dirinya sendiri saja, anaknya sudah merantau dan bekerja. Si kakek hanya bercerita sebentar dengan Bahasa Sunda tulen yang hanya bisa sedikit saya mengerti karena beliau sepertinya tidak bisa Bahasa Indonesia. Tapi apa yang beliau ceritakan menempel di kepala saya. Beliau mengingatkan saya akan betapa mudahnya hidup saya, sehingga semestinya saya bisa lebih bersyukur dan menikmatinya. Angkot silver ini akan ngetem sangat lama untuk menunggu penumpang penuh. Jika belum penuh si sopir enggan beranjak. Perjalanan angkot silver memakan waktu 45 menit. Melewati jalanan berliku yang menanjak dan bergeronjal, dengan bukit gersang menghiasi perjalanan. Antimo akan berguna bagi yang mudah mabok pada perjalanan darat.
Rupanya banyak orang Sukabumi yang tidak tahu menahu mengenai Wisata Goa Buniayu. Jadi sebaiknya matangkan persiapan sebelum berangkat. Terutama mengenai transportasi apa saja yang akan ditempuh. Sesampai di lokasi tentu semua menjadi mudah. Karena kami sudah mengambil paket wisata dari pengelola kawasan tersebut. Sedikit informasi, Goa Buniayu termasuk dalam area yang dikelola PT. Perhutani. Nah, wisata Goa Buniayu sendiri pengelolaannya biasanya diserahkan pada pihak ketiga. Namun saat kami ke sana kebetulan kontrak dengan pihak perusahaan yang lama telah habis. Semoga pengelola yang baru dapat mengoptimalkan potensi yang ada tanpa merusak ekosistem.
Memasuki gapura Kawasan Wisata Goa Buniayu seperti masuk ke hutan. Sepi sekali. Bunyi serangga menjadi sountrack perjalanan kami. Wuyung si penanggung jawab perjalanan merasa tertipu karena mengira kami akan dijemput mobil pick up di gerbang tadi. Padahal sebenarnya memang tidak disediakan akomodasi dari pihak Goa Buniayu. Dalam perjalanan di jalan batu yang dikelilingi tanaman karet dan pinus, sesekali ada motor lewat. Terlihat Bapak /Ibu membonceng anak dengan pakaian seragam sekolah. Kami cukup heran dan membicarakan mengenai kemungkinan ada tidaknya rumah di dalam hutan sana.
Ketika kami menemukan rumah pertama di dalam hutan, Wuyung menelfon Kang Gareng (guide kami) untuk bertanya apakah kami masih harus berjalan lagi. Kami semua merasa lelah. Ternyata Kang Gareng hanya berada 200 meter di depan kami. Sisa tenaga yang ada segera kami manfaatkan untuk bergegas ke sana. Kaki Kang Gareng sedang bengkak, "keseleo main bola tujuh belasan kemarin," ujarnya. Saya menduga mungkin kami tidak dijemput di gerbang karena Kang Garengnya sedang susah jalan.
Di dalam hutan pada area yang menyembul tinggi tempat kami berada, banyak sekali bebatuan yang sepertinya batuan dari dalam laut. Ternyata area yang kami datangi dulunya merupakan dasar laut. Seram juga membayangkan perbukitan ini dulunya digenang air laut. Sungguh Allah Maha Kuasa.
Udara di sini sudah berbeda sekali dengan di jalanan berbatu tadi. Sejuk sekali rasanya. Saya jadi sedikit mengantuk. Kang Gareng tahu sekali bahwa kami butuh penyegaran. Tiba-tiba saja muncul seorang Ibu yang membawa sebuah nampan dan teko berukuran sedang. Ternyata isinya bakwan dan pisang goreng, serta teh manis hangat. Kami sangat antusias menandaskannya sambil mendengarkan cerita Kang Gareng tentang kawasan ini. Suasana yang nyaman di teras gubug membuat saya merasa rileks dan damai. Kantuk kian menyergap. Di samping kiri gubug kami ada warung. Di samping kanan depan ada gubug lain yang lebih besar lalu di belakangnya ada 3 toilet dan 2 kamar mandi. Seratus meter dari teras gubug ini ada wahana permainan. Belakang gubug adalah jurang yang berupa area persawahan. Selain gubug, ada area perkemahan permanen dengan kapasitas 4 orang. Sebenarnya lucu juga di situ, tapi kami lebih suka gubug kami, karena lebih leluasa untuk bergerak. Seusai izin sholat dzuhur duluan, saya menjadi orang pertama yang bersiap tidur siang. Tentu saya langsung diledek Kang Gareng, "Udah segitu doang mau tidur aja?". Saya hanya tertawa lalu segera menyamankan diri untuk tidur siang karena saya sudah menguap terus-terusan. Teman-teman saya yang lain sibuk berfoto dan merekam video.
Ketika saya bangun tidur teman-teman sedang bergiliran sholat ashar. Sudah ditunggu Kang Gareng dan pemandu lain (karena Kang Gareng tidak mungkin susur goa dengan kaki bengkak). Saya lupa nama beliau. Kami diminta mengenakan boots. Tak lupa saya bawa headlamp yang sudah saya pinjam dari teman. Kagok sekali rasanya menuruni tangga curam dengan boots yang agak berat.
Kami berdoa dulu sebelum masuk goa horizontal. Dalam hati saya sedikit cemas, khawatir tidak kuat menyusuri goanya. Malu juga sih kalau sampai nggak kuat, hehe. Bapak pemandu kami menggunakan lampu yang berbahan spirtus. Saya kurang suka baunya, jadi saya berusaha tidak berada dibelakang si Bapak persis karena hidung saya gampang mampet. Beliau menjelaskan ornamen-ornamen goa yang ada dan mempersilakan kami foto pada ornamen yang unik atau besar. Bahkan si Bapak menyarankan pose-pose tertentu pada kami. Duh, kayaknya selain jadi pemandu goa beliau cocok jadi pengarah gaya. Kami berfoto bergantian di kanopi yang besar. Di dalam goa ada tempat duduk dan meja yang bentuknya alakadarnya tapi kelihatan tidak alami. Terlihat dibuat dari semen. Ternyata itu bekas properti shooting Si Buta dari Goa Hantu, itu lho serial TV yang dulu sempat ngetop entah tahun berapa. Ada yang menonton?
Area ekstrim di Goa Horizontal ini tidak banyak. Hanya ada satu bagian yang mengharuskan kami merunduk sepanjang sekitar 80 meter. Kami cukup bersenang-senang saat menyusuri Goa Horizontal ini. Melihat-lihat stalaktit, stalakmit, kolom, gourdam dan kanopi. Kami memanggil kembali ingatan nama-nama ornamen goa yang sudah mulai menghilang dari ingatan. Jadi sedikit belajar geologi. Goanya tidak terlalu panjang, jadi kami tidak terlalu kelelahan. Hanya sekitar 30 menit waktu yang dihabiskan di dalam goa. Bagian yang perlu perjuangan justru turunan untuk sampai ke mulut goa dan tanjakan untuk kembali ke permukaan. Bapak pemandu kami memunguti sampah yang beliau temukan di dalam goa. Sedih ya tiap kali ada yang buang sampah sembarangan di areal wisata alam. Dalam perjalanan kembali menaiki anak tangga untuk menuju gubug, kami bertemu beberapa warga lokal yang hendak masuk Goa Horizontal juga. Mereka membawa beberapa kantong plastik. Saya berpikir untuk apa ya makan jajanan di dalam goa yang gelap dan tidak memerlukan waktu tempuh yang lama. Semoga mereka tidak membuang sampah sembarangan di sana.
Sepulang dari goa kami kelaparan sehingga meminta jadwal makan malam dimajukan. Kang Gareng dengan sigap merespons. Kami menunggu makanan sambil bermain-main di wahana permainan outdoor dekat gubug.
Beberapa saat kemudian datanglah Ibu-Ibu yang mengantarkan makan malam kami. Sajian yang sangat melimpah. Ada sop panas, ayam goreng, tahu tempe goreng, teri kacang, sambal dan lalapan khas sunda juga kerupuk. Kami semua makan dengan sangat lahap.
Biasanya saat naik gunung saya tidak mandi dengan alasan tidak mau membuat sumber air tercemar deterjen, plus karena nggak kuat dingin. Kali ini saya terpaksa mandi karena baru susur goa. Guyuran pertama sudah membuat saya menggigil dan memutuskan tidak akan sanggup lagi sikat gigi serta cuci muka sebelum tidur. Selepas sholat isya saya tak mau lagi kena air. Saat saya dan Fifi (ya, partner cewek yang sama dengan perjalanan saya sebelumnya di Pulau Bira) hendak tertidur, kami dipanggil tim cowok bahwa api unggun telah siap. Seru sekali bakar membakar singkong di api unggun. Singkong di sana saat itu kecil-kecil karena sedang kemarau. Matangnya lama dan tidak terlalu empuk meski sudah terbakar sempurna. Kata Kang Gareng, mereka banyak menanam singkong sekalian untuk memberi makan monyet liar yang sering mampir di sekitar perumahan warga di sana. Saat kami menikmati hangatnya bara api unggun, terdengar keramaian dari gubug sebelah. Rupanya Kang Gareng mengajak anak-anak tetangganya bermain playstation. Ganjil sekali rasanya ada yang main PS di pinggiran hutan begini. Sepertinya mereka diajak Kang Gareng untuk berbagi kebahagiaan karena sedang ada tamu di sana, yakni kami. Sejak makan sore hingga saat bakar-bakaran ini kami ditemani oleh anjing milik warga sekitar. Anjingnya jinak, mereka datang begantian seolah giliran menjaga kami. Salah satu anjing itu bahkan takut dengan kucing, lucu sekali.
Menyadari esok kami harus bangun pagi demi menyusuri Goa Vertikal, maka kami segera memadamkan api dan bersiap tidur. Saya tadinya khawatir akan nyamuk, tapi ternyata tak ada. Sleeping bag juga tak perlu di bawa karena kasur yang disediakan kondisinya sangat baik lengkap dengan selimut dobel. Malam itu kami semua tidur nyenyak karena merasa damai dekat dengan alam.
Tempat ini sangat cocok sekali untuk siapa saja yang merasa penat dengan keramaian dan kesibukan di kota besar. Masih sepi dan sangat damai. Listrik dan air besih serta toilet dan kamar mandinya cukup memadai. Bagi yang merasa berat untuk naik gunung, atau barangkali sudah bosan dengan pantai yang makin ramai, tak ada salahnya menikmati wisata goa di heningnya Buniayu. Dekat dengan alam akan membuat siapapun merasa bahagia :)
Nantikan cerita seru kami di Goa Vertikal pada post berikutnya ya...
Memasuki gapura Kawasan Wisata Goa Buniayu seperti masuk ke hutan. Sepi sekali. Bunyi serangga menjadi sountrack perjalanan kami. Wuyung si penanggung jawab perjalanan merasa tertipu karena mengira kami akan dijemput mobil pick up di gerbang tadi. Padahal sebenarnya memang tidak disediakan akomodasi dari pihak Goa Buniayu. Dalam perjalanan di jalan batu yang dikelilingi tanaman karet dan pinus, sesekali ada motor lewat. Terlihat Bapak /Ibu membonceng anak dengan pakaian seragam sekolah. Kami cukup heran dan membicarakan mengenai kemungkinan ada tidaknya rumah di dalam hutan sana.
Ketika kami menemukan rumah pertama di dalam hutan, Wuyung menelfon Kang Gareng (guide kami) untuk bertanya apakah kami masih harus berjalan lagi. Kami semua merasa lelah. Ternyata Kang Gareng hanya berada 200 meter di depan kami. Sisa tenaga yang ada segera kami manfaatkan untuk bergegas ke sana. Kaki Kang Gareng sedang bengkak, "keseleo main bola tujuh belasan kemarin," ujarnya. Saya menduga mungkin kami tidak dijemput di gerbang karena Kang Garengnya sedang susah jalan.
Di dalam hutan pada area yang menyembul tinggi tempat kami berada, banyak sekali bebatuan yang sepertinya batuan dari dalam laut. Ternyata area yang kami datangi dulunya merupakan dasar laut. Seram juga membayangkan perbukitan ini dulunya digenang air laut. Sungguh Allah Maha Kuasa.
Udara di sini sudah berbeda sekali dengan di jalanan berbatu tadi. Sejuk sekali rasanya. Saya jadi sedikit mengantuk. Kang Gareng tahu sekali bahwa kami butuh penyegaran. Tiba-tiba saja muncul seorang Ibu yang membawa sebuah nampan dan teko berukuran sedang. Ternyata isinya bakwan dan pisang goreng, serta teh manis hangat. Kami sangat antusias menandaskannya sambil mendengarkan cerita Kang Gareng tentang kawasan ini. Suasana yang nyaman di teras gubug membuat saya merasa rileks dan damai. Kantuk kian menyergap. Di samping kiri gubug kami ada warung. Di samping kanan depan ada gubug lain yang lebih besar lalu di belakangnya ada 3 toilet dan 2 kamar mandi. Seratus meter dari teras gubug ini ada wahana permainan. Belakang gubug adalah jurang yang berupa area persawahan. Selain gubug, ada area perkemahan permanen dengan kapasitas 4 orang. Sebenarnya lucu juga di situ, tapi kami lebih suka gubug kami, karena lebih leluasa untuk bergerak. Seusai izin sholat dzuhur duluan, saya menjadi orang pertama yang bersiap tidur siang. Tentu saya langsung diledek Kang Gareng, "Udah segitu doang mau tidur aja?". Saya hanya tertawa lalu segera menyamankan diri untuk tidur siang karena saya sudah menguap terus-terusan. Teman-teman saya yang lain sibuk berfoto dan merekam video.
Kami berdoa dulu sebelum masuk goa horizontal. Dalam hati saya sedikit cemas, khawatir tidak kuat menyusuri goanya. Malu juga sih kalau sampai nggak kuat, hehe. Bapak pemandu kami menggunakan lampu yang berbahan spirtus. Saya kurang suka baunya, jadi saya berusaha tidak berada dibelakang si Bapak persis karena hidung saya gampang mampet. Beliau menjelaskan ornamen-ornamen goa yang ada dan mempersilakan kami foto pada ornamen yang unik atau besar. Bahkan si Bapak menyarankan pose-pose tertentu pada kami. Duh, kayaknya selain jadi pemandu goa beliau cocok jadi pengarah gaya. Kami berfoto bergantian di kanopi yang besar. Di dalam goa ada tempat duduk dan meja yang bentuknya alakadarnya tapi kelihatan tidak alami. Terlihat dibuat dari semen. Ternyata itu bekas properti shooting Si Buta dari Goa Hantu, itu lho serial TV yang dulu sempat ngetop entah tahun berapa. Ada yang menonton?
Area ekstrim di Goa Horizontal ini tidak banyak. Hanya ada satu bagian yang mengharuskan kami merunduk sepanjang sekitar 80 meter. Kami cukup bersenang-senang saat menyusuri Goa Horizontal ini. Melihat-lihat stalaktit, stalakmit, kolom, gourdam dan kanopi. Kami memanggil kembali ingatan nama-nama ornamen goa yang sudah mulai menghilang dari ingatan. Jadi sedikit belajar geologi. Goanya tidak terlalu panjang, jadi kami tidak terlalu kelelahan. Hanya sekitar 30 menit waktu yang dihabiskan di dalam goa. Bagian yang perlu perjuangan justru turunan untuk sampai ke mulut goa dan tanjakan untuk kembali ke permukaan. Bapak pemandu kami memunguti sampah yang beliau temukan di dalam goa. Sedih ya tiap kali ada yang buang sampah sembarangan di areal wisata alam. Dalam perjalanan kembali menaiki anak tangga untuk menuju gubug, kami bertemu beberapa warga lokal yang hendak masuk Goa Horizontal juga. Mereka membawa beberapa kantong plastik. Saya berpikir untuk apa ya makan jajanan di dalam goa yang gelap dan tidak memerlukan waktu tempuh yang lama. Semoga mereka tidak membuang sampah sembarangan di sana.
Sepulang dari goa kami kelaparan sehingga meminta jadwal makan malam dimajukan. Kang Gareng dengan sigap merespons. Kami menunggu makanan sambil bermain-main di wahana permainan outdoor dekat gubug.
Biasanya saat naik gunung saya tidak mandi dengan alasan tidak mau membuat sumber air tercemar deterjen, plus karena nggak kuat dingin. Kali ini saya terpaksa mandi karena baru susur goa. Guyuran pertama sudah membuat saya menggigil dan memutuskan tidak akan sanggup lagi sikat gigi serta cuci muka sebelum tidur. Selepas sholat isya saya tak mau lagi kena air. Saat saya dan Fifi (ya, partner cewek yang sama dengan perjalanan saya sebelumnya di Pulau Bira) hendak tertidur, kami dipanggil tim cowok bahwa api unggun telah siap. Seru sekali bakar membakar singkong di api unggun. Singkong di sana saat itu kecil-kecil karena sedang kemarau. Matangnya lama dan tidak terlalu empuk meski sudah terbakar sempurna. Kata Kang Gareng, mereka banyak menanam singkong sekalian untuk memberi makan monyet liar yang sering mampir di sekitar perumahan warga di sana. Saat kami menikmati hangatnya bara api unggun, terdengar keramaian dari gubug sebelah. Rupanya Kang Gareng mengajak anak-anak tetangganya bermain playstation. Ganjil sekali rasanya ada yang main PS di pinggiran hutan begini. Sepertinya mereka diajak Kang Gareng untuk berbagi kebahagiaan karena sedang ada tamu di sana, yakni kami. Sejak makan sore hingga saat bakar-bakaran ini kami ditemani oleh anjing milik warga sekitar. Anjingnya jinak, mereka datang begantian seolah giliran menjaga kami. Salah satu anjing itu bahkan takut dengan kucing, lucu sekali.
Menyadari esok kami harus bangun pagi demi menyusuri Goa Vertikal, maka kami segera memadamkan api dan bersiap tidur. Saya tadinya khawatir akan nyamuk, tapi ternyata tak ada. Sleeping bag juga tak perlu di bawa karena kasur yang disediakan kondisinya sangat baik lengkap dengan selimut dobel. Malam itu kami semua tidur nyenyak karena merasa damai dekat dengan alam.
Tempat ini sangat cocok sekali untuk siapa saja yang merasa penat dengan keramaian dan kesibukan di kota besar. Masih sepi dan sangat damai. Listrik dan air besih serta toilet dan kamar mandinya cukup memadai. Bagi yang merasa berat untuk naik gunung, atau barangkali sudah bosan dengan pantai yang makin ramai, tak ada salahnya menikmati wisata goa di heningnya Buniayu. Dekat dengan alam akan membuat siapapun merasa bahagia :)
Nantikan cerita seru kami di Goa Vertikal pada post berikutnya ya...
4 komentar
Seru banget sih... Klo bocils udah pd gede, eike mau deh ksana hehehe
ReplyDeleteKayaknya bakalan bagus nih tempatnya nanti kalau udah ada pengelola lagi. Tapi Mba Yeye nggak usah ke Goa Vertikal yaa. :p
DeleteWakssss ... aku suka gua ini tapi bikin gempor coz puasa2 kita menjelajah gua ini
ReplyDeleteLuar biasa pas puasa! Janjangan menjelajah Goa Vertikalnya pas puasa juga ya Mas :o
DeleteTerima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar.
Love, Nia :)