Night at Lawang Sewu
17:52
Ketika berkunjung ke Semarang beberapa waktu yang lalu, saya nggak mau rugi. Rasanya harus ke salah satu landmark Ibukota provinsi hometown saya, Lawang Sewu. Kebetulan hostel saya dekat dengan Lawang Sewu, jadi tiap kali lewat sana udah lirik-lirik dan berpikir kapan mau mampir. Ealah ternyata Fani, kawan yang menemani saya selama di Semarang tiba-tiba mengajak ke sana pada malam hari! Sebagai senior saya urung menolak, semata-mata karena gengsi. Maka akhirnya dengan nyali ciut, jantung yang berdegup lebih keras, batin yang sibuk mengucap ayat al-Qur'an yang kira-kira bermanfaat, konsentrasi penuh (karena katanya makhluk halus suka mengganggu orang yang pikirannya kosong), juga telinga dan hidung yang 100% waspada, saya pasrah memasuki area parkiran Lawang Sewu dengan memasang wajah senetral mungkin. ^^
Sedikit pengantar, Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan kuno peninggalan Belanda yang dibangun pada 1904. Semula gedung ini untuk kantor pusat perusahaan kereta api (trem) Belanda atau Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS). Gedung tiga lantai bergaya art deco (1850-1940) ini karya arsitek Belanda ternama, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag. Lawang Sewu terletak di sisi timur Tugu Muda Semarang atau di sudut Jalan Pandanaran dan Jalan Pemuda. Disebut Lawang Sewu (Seribu Pintu), ini dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu. (sumber)
Sepertinya hampir semua orang akan mengaitkan Lawang Sewu pada cerita horor, demikian juga saya. Sugesti-sugesti banyak bermunculan di kepala karena doktrinasi acara-acara uji nyali di TV. Ketika membeli tiket kami diwajibkan menggunakan jasa guide karena saat itu sudah pukul 20:00. Saya dengan senang hati bersedia di-guide, seenggaknya jadi lebih rileks karena bakalan ada yang ngomong terus selama perjalanan keliling Lawang Sewu nanti. Sebenarnya kepala agak berat sejak memasuki area Lawang Sewu, namun saya rasa itu hanya sugesti. Tiket masuk berdua + tips guide total 50K.
Rute tour de Lawang Sewu dimulai dari arah kanan gerbang, bangunan utama dengan menara yang dulunya merupakan tandon penyimpan air dari sumur yang masih ada di depan bangunan, saat itu tidak boleh dimasuki. Sumurnya berlokasi tak jauh dari pagar. Guide mengajak melihat ke sana dan rasanya saya enggan untuk melongok ke sumur, serem kayaknya. Kebayang sadako keluar dari sana! Haha untung bukan di Jepang ya jadi nggak bakal ada Sadako. Guidenya mungkin mulai menangkap ketegangan saya, lalu ia mengajak kami masuk dan berkata "Mari masuk, di dalam ramai kok."
Benar saja, di taman yang menjadi halaman sekaligus pemisah antar gedung ada beberapa orang yang bisa dikatakan banyak untuk ukuran jumlah orang di suatu tempat horor, mungkin mereka sedang menikmati angin malam yang segar di sana. Pada kanopi penghubung antara bangunan utama dan toilet sebelum masuk museum, guide menjelaskan bahwa jenis arsitektuk pada kanopi tersebut merupakan art-deco, pada setiap lorong bangunan depan pun menggunakan gaya tersebut. Bentuknya melengkung lengkung dengan disangga rel kereta api pada ruas-ruasnya. Iya dari REL! :D
Benar saja, di taman yang menjadi halaman sekaligus pemisah antar gedung ada beberapa orang yang bisa dikatakan banyak untuk ukuran jumlah orang di suatu tempat horor, mungkin mereka sedang menikmati angin malam yang segar di sana. Pada kanopi penghubung antara bangunan utama dan toilet sebelum masuk museum, guide menjelaskan bahwa jenis arsitektuk pada kanopi tersebut merupakan art-deco, pada setiap lorong bangunan depan pun menggunakan gaya tersebut. Bentuknya melengkung lengkung dengan disangga rel kereta api pada ruas-ruasnya. Iya dari REL! :D
Bangunan yang kami masuki pertama adalah museum kereta api. Pada waktu itu saya baru tahu jika Lawang Sewu dikelola oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Di dalam musem kita bisa membaca sejarah perkereta-apian Indonesia. Ada hal unik yang saya pelajari di museum ini, selain dituturkan oleh guide, juga dituliskan dalam salah satu keterangan museum bahwa keramik di sana tidak direkatkan dengan semen pada batu bata, namun hanya dengan kapur dicampur reruntuhan bangunan dan bahan lainnya. Lihat aja gambar di bawah, kokoh ya ternyata meski dari kapur. Sepertinya kapur bahan dasar semen bukan sih? Ketika tinggal di Padang dulu saya beberapa kali melewati bukit gundul ketika menuju Solok, kabarnya bukit itu menjadi demikian karena digali dan diambil kapurnya untuk bahan dasar semen oleh PT. Semen Padang. Mungkin dulu belum ngetrend semen kali ya. Ini sih opini pribadi saya tanpa penelitian. Bagi yang tahu monggo boleh dijelaskan di komen ;)
Enggan rasanya beranjak dari museum karena artinya saya harus ikut tour sampai ke bangunan di belakang, di sana banyak abandoned building yang udah runtuh-runtuh batu batanya, makin horor gitu deh di mata saya. Padahal kalau itu peninggalan kerajaan macam di Ayutthaya malah jadi situs sejarah ya. Antara takut dan pengen lihat, saya ikut lanjut ke belakang bangunan yang gelap itu. Dalam hati berdoa terus tentunya, hahaha payah banget pokoknya saya.
Tour terus berlanjut dengan tingkat drama kehororan yang semakin pekat dalam benak saya karena memang situasinya semakin gelap dan sepi. Hanya guide yang bawa senter. Kami diajak masuk ruangan-ruangan luas tempat noni-noni dan tuan-tuan Belanda kala itu berdansa, luas seperti aula atau gedung pertemuan masa kini. Kemudian ke ruang-ruang kantor lainnya yang pasti akan jadi kisah tragis hilangnya saya kalau menyusuri bangunan ini sendirian, pintunya emang banyak banget. Lalu ada ruang bawah tanah. Ketika kami tiba di dekat pintunya, Fani sangat excited untuk masuk ke sana. Dalam hati saya berkata, "How dare you Fani!!" Hahaha. Alhamdulillah ruang bawah tanahnya ditutup karena sedang renovasi. Sungguh gedung ini sangat menakutkan karena gelap gulita, sampai akhirnya ada dua rombongan kecil lainnya yang berpapasan dengan kami, saya sedikit lebih lega. Fufufu.
Saya sudah bisa tersenyum ketika keluar dari bangunan tadi, eh ternyata malah diajak ke pinggiran bangunan dekat selokan yang dulunya kanal-kanal aliran air dan diceritakan tentang bagaimana dulu tempat itu pernah dijadikan penjara. Memori horor ketika mengunjungi Lobang Mbah Suro pun muncul. Pokoknya saya lebay abis malam itu. Dengan waspada, mata kecil saya yang rabun menyorot ke arah kanal terus-terusan sambil mencoba menyimak penuturan Mas Guide. Rasanya di pinggir selokan ini waktu berjalan begitu lama, hiks. Hingga akhirnya kami diajak melangkah lagi meneruskan perjalanan ke bangunan di depannya dan ternyata banyak tukang yang sedang mengerjakan renovasi. Saya-nya senang, namun ini pasti anti klimaks bagi orang-orang yang menikmati terpacunya adrenalin dengan hal-hal menantang sejenis ini, kalau saya cukup cari endorphin dengan lari aja deh. Ampuunn...
Singkat cerita harapan saya terkabul, sampailah kami di penghujung tour, kami tiba di lorong yang dari sana mulai kelihatan jalan besar di depan Lawang Sewu. Karena sudah melihat peradaban masa kini dan mulai ada lampu-lampu, saya mulai berani melirik-lirik ke sana barangkali ada apa gitu. Nah lho padahal tadi takut. Jadi intinya nggak ada hal seram atau aneh yang saya alami. Tapi kalau nggak pakai guide mungkin bisa nyasar sih ketika memasuki gedung-gedungnya, maklum saja pintunya banyak banget. Lalu kami berfoto-foto di depan bangunan utama dengan menyimpan sedikit cemas semoga nggak ada penampakan apa-apa di foto.
Night at Lawang Sewu Mission Accomplished! hahahaha...
2 komentar
Kayany seru ya ni klo malem.. jd pengen ksna.
ReplyDeleteIya seru banget! Cobain aja Bang, ngeri2 gimana gituu ^^
DeleteTerima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar.
Love, Nia :)