Selamat Pagi teman-teman! Post blog kali ini merupakan guest post dari kawan saya, Meidiawan. Sesuai dengan namanya, ia cukup terkenal di beberapa media sosial dan banyak menulis di aneka media. Gaya penulisan Memed, panggilan akrab Meidiawan, sama sekali tidak saya ubah untuk mempertahankan cita rasa aslinya. Baiklah, selamat menikmati gaya penulisan yang sedikit berbeda di Living Room. :)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekurang-kurangnya, dua stel kemeja berwarna
biru-muda-agak-tua-sedikit-yang-memiliki-kode-pantone-658c pasti selalu
tersedia di lemari setiap PNS Kementerian Keuangan. Soalnya, peraturan perklambian menegaskan
betul kalau PNS Kemenkeu harus mengenakan kemeja itu, berpadu dengan bawahan
biru tua, saban Rabu. Maka, haram hukumnya jika para PNS ini, termasuk saya, kalau
hanya memiliki satu stel saja, apalagi tidak punya. Selain bakal dipandang
dengan mata yang terpicing, tidak mengenakan seragam yang sesuai bisa berujung
penjatuhan hukuman disiplin.
Sehingga, tak heran jika setiap Rabu, orang-orang begitu mudah
mengenali PNS Kementerian Keuangan lewat seragam birunya. Di satu sisi, saya
merasa dimudahkan dengan pengidentifikasian ini. Kerja-kerja kedinasan terasa jauh
lebih mudah. Tetapi, di sisi lain, saya juga kesusahan kalau harus pergi di
hari yang sama untuk melaksanakan "kerja-kerja non kedinasan". Apa
itu "kerja-kerja non kedinasan?' Ehe. Baiknya tidak kita bahas
di sini.
Ketentuan yang mengikat PNS Kemenkeu adalah satu dari sekian
banyak fungsi busana. Semenjak mengenal ragam, busana berevolusi dari
sebentuk bungkus tubuh menjadi pernyataan dari sebuah identitas. Ia menjadi
perlambang sebuah jabatan, pangkat, bahkan ekspresi kebebasan. Lewat pakaian, seseorang
menunjukkan dirinya adalah bagian dari satu hal. Lewat pakaian pula,
orang-orang bisa “berbicara” tanpa perlu mengeluarkan suara.
sumber: www.portal.binabangunbangsa.com |
Berbincang soal busana harus membawa kita kepada presiden
pertama Republik Indonesia, Sukarno, yang mafhum benar soal ini. Ia selalu
bersetia kepada pakaian seragamnya dalam setiap penampilan. Setelan jas bergaya
militer dengan kantung tempel empat buah dipadu dengan celana bahan selalu
menemani Bung Karno ke mana-mana. Kopiah hitam juga selalu melekat untuk
melengkapi citra kebesaran Bung Besar.
Lewat setelan itu, Bung Karno seolah ingin menunjukkan
pengejawantahan dirinya sebagai perpaduan dan jembatan antara militer dan
rakyat sipil. Ia juga mengusung kopiah sebagai penanda identitasnya sebagai
seorang muslim.
Dalam wawancaranya
dengan Cindy Adams, Bung Karno sendiri mengaku kalau seragamnya adalah sebuah
pernyataan sikap. "Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi.
Rakyatku sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni
selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak. Setelah kemerdekaan
Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah
citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam,” ujarnya.
sumber: thoughtco.com |
Seperti Soekarno, Jose Rizal juga memilih pakaian sebagai
caranya berbicara. Jose Rizal acap mengenakan jas mantel untuk membalut
tubuhnya meskipun suhu musim panas dan musim dingin di negeri itu tak jauh
berbeda.
Jas mantel digunakan Jose Rizal untuk mengasosiasikan dirinya
dengan lelaki budiman penghujung era Victoria. Bagi Rizal, yang juga menulis
dalam bahasa Spanyol, hal yang dilakukan dan ditunjukkannya adalah bagian dari
rasa kebanggaan nasional sebagai rakyat Filipina.
Safia Minney bersama pemberdayaan |
Jika motif kedua orang itu mengenakan pakaian berkaitan erat
dengan tendensi politiknya, Safia Minney berbeda. Ia bertungkus lumus
membuat People Tree, sebuah jejaring fesyen yang mengusung etika
bisnis dan kewajaran harga. Lewat label ini, Safia mengampanyekan
industri fesyen yang "bersih", yaitu ramah terhadap lingkungan, royal
terkait pemberian upah yang baik bagi para buruh, hingga mendukung kemandirian
ekonomi bagi para pengusaha yang tergabung dalam jejaringnya.
Safia juga tak ragu
untuk berkoordinasi dengan mereka yang terpinggirkan, seperti para perempuan
Bangladesh. Bersama mereka, Safia memproduksi pakaian dengan menggunakan bahan
tenun tradisional mereka dengan pewarna alami dan ramah lingkungan. Didukung
oleh dua perancang di People Tree, koleksi tersebut dijual melalui katalog yang
menampilkan berbagai produk termasuk tas tangan, pakaian, dan bakiak
sumber: http://www.safia-minney.com/blog/ |
Tak berhenti sampai di sana, Safia juga memprakarsai World
Fair Trade Day yang dimulai pada tahun 1999 dan didukung oleh World
Fair Trade Organization. Di tangan Safia Minney, busana diangkat jauh
melampaui tendensi politik. Ia menggunakan busana sebagai moncong senjata yang
diarahkan pada kesewenang-wenangan kapitalisme. Lewat caranya mengolah dan
mengelola jejaring fesyen ramah, Safia memahat identitasnya sebagai oposisi
industri busana besar. Ia adalah penyembuh borok yang melulu ditampilkan
raksasa fesyen. Sorot matanya adalah semburat pembebasan buruh yang terbenam
dalam kemiskinan.
Bagi Bung Karno, Jose Rizal, dan Safia Minney, busana adalah
cara mereka menenun idealisme menjadi sebuah bentuk. Mereka sadar kalau busana
lebih dari bisa untuk menampilkan diri secara kongruen dengan cita-cita besar
mereka. Entah itu sebagai penyambung lidah rakyat, penghantam kungkungan
penyiksaan, atau penganjur ekonomi yang berkeadilan. Ditambah kegigihan dan
konsistensi dalam memakainya, citra yang mereka bangun kian terasa khas.
Jika urusan busana bagi seseorang saja bisa membentuk satu imaji
yang besar, bagaimana dengan pilihan berbusana satu kelompok masif?
Penyeragaman seperti itu tak lain akan membangun imaji kolektif
yang aduhai kuatnya. Seperti kita yang kian mudah mengasosiasikan baju loreng
dengan tentara, atau warna cokelat tua dengan kepolisian. Imaji yang nantinya
tersangkut terhadap pakaian-pakaian meski tiada seorang pun yang mengenakannya.
sumber: terpongbisnis.com |
Ekses lain adalah mau tak mau penyeragaman pun akan membawa
pemakainya patuh pada nilai yang terbawa pada seragam itu. Maka dari itu, kita
akan memahami tentap pemilihan berbusana yang diatur sedemikian rupa; Dalam
narasi positif, Pemerintah mengatur seragam para pamongnya, begitu pun Dokter,
juga perawat, untuk menunjukkan kesamaan nilai yang mengikat juga memberikan
tekanan asosiatif yang kian kuat.
Dalam narasi sebaliknya, pembatasan penggunaan berbusana juga
pernah dilakukan untuk membelenggu orang-orang agar tidak mencaplok nilai-nilai
di luar kaidah yang pernah ditetapkan. VOC pernah melarang pakaian Eropa, yang
merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah
asing, dikenakan oleh sembarang pribumi. Topi, celana, dan, hingga taraf
yang lebih sempit, yakni sepatu, khusus dikenakan agar mereka bisa membedakan
orang-orang ini dari orang-orang Indonesia lainnya di Batavia, yang diwajibkan
untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala mereka.
Sudah bisa ditebak kalau pelarangan itu membuahkan perlawanan
yang keras di kemudian hari. Betul bahwa di satu sisi, mereka yang bersepakat
akan suatu nilai mudah saya mengiyakan ketentuan penyeragaman. Tetapi, bagi
mereka yang tidak sesuai dengan nilai tersebut, perlawanan akan lahir. Mereka
akan memberontak. Mereka menolak penyeragaman, atau mengenakan seragam yang
tidak boleh dikenakan. Bagi mereka, apa yang mereka kenakan adalah kehendak
mereka.
Maka, lama-kelamaan
busana akan berperan semakin luas. Orang-orang mengenakannya seperti memberi
nilai kepada diri sendiri. Tubuh menjadi kanvas yang dicoraki. Jika mereka
menginginkan suatu nilai dapat dilihat oleh orang lain secara kasat mata,
mengenakan pakaian adalah cara yang mereka pilih. Apakah itu berarti pencitraan
dari sebuah nilai atau perjuangan melawan penindasan.
Busana adalah kulit yang kita pilih. Jika Soekarno dan Jose Rizal
memilih busana untuk pencitraan diri, Safia Minney memilihnya untuk perlawanan,
sedangkan teman saya, Nia Nastiti, memilihnya sebagai ekspresi
diri untuk menolak dewasa, maka apakah busanamu juga mencerminkan pernyataan
yang tak mampu kau sampaikan lewat kata-kata?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya tidak merequest Memed untuk membahas saya, namun entah kenapa saya dijadikan pamungkas tulisannya. Saya cuma bisa membalas dengean mengunggah foto Memed di awal post, haha. Semoga tulisan Memed ini memberikan insight baru bagi teman-teman yang sudah berkenan membaca. Selamat berpetualang mencari identitas melalui busana! :D
"Teman saya, Nia Nastiti, memilihnya sebagai ekspresi diri untuk menolak dewasa" aku malah ngeliat gaya nia dewasa banget hihihihi cuman kl udah ngomong & cerita baru kliatan :D
ReplyDeleteTau tuh Memed, hahahaa :p
DeleteMenolak Dewasa :)) kalau gie kebalikannya (keknya) :'D
ReplyDeleteItu kata Memed, aku ga berpikir gimana2 tentang berbusana. Teman2 yang melihat boleh menginterpretasikan sesuai kemauan masing-masing. Anggi malah pengen terlihat dewasa, ya kan? :D
DeleteAjining rogo soko busono, bagiku pakaian adalah cara menghargai diri. Yg bedain kita sebagai khalifah di muka bumi.
ReplyDeleteBener banget Sist :)
Delete